A.
Pendahuluan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Sedangkan Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Menurut The Liang Gie (1999)[ http://www.google
22-10-08, 20:30], filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat
dan ilmu.
Nilai merupakan
tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam
penelitian dan penggalian.bagi kebanyakan orang penilaian terjadi secara terus
menerus dan jika suatu (benda fisik cara bertindak seseorang) harus diutamakan
atau dipilih.
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai
atau yang dikenal dengan aksiologi. Selain etika yang termasuk dalam kajian
aksiologis adalah estetika atau teori tentang keindahan. Etika sering disamakan
dengan moralitas, padahal kuduanya berbeda. Moralitas adalah nilai-nilai
perilaku orang atau masyarakat sebagaimana bisa ditemukan dalam kehidupan real
sehari-hari, yang belum disistematisasi sebagai suatu teori. Ketika
perilaku-perilaku moral dirumuskan menjadi teori-teori, maka disebut etika.
Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral,
prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti, dan apa yang baik
bagi manusia. Dalam etika yang lebih ditekankan adalah masalah baik dan
buruknya suatu tindakan manusia, bukan masalah kebenaran suatu perbuatan
manusia.
Etika baru menjadi ilmu bila ada kemungkinan –kemungkinan
etis, yakni asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk,
yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat tanpa disadari. Nah, ketika
berbicara etika dalam kaitannya dengan ilmu, banyak fenomena yang menyebabkan
orang bertanya tentang nilai suatu ilmu. Pada satu sisi ilmu mengklaim nilai
kegunaanya, ilmu membuktikan dirinya dapat membantu manusia dalam menjelaskan
dan memahami hidup serta memberikan sarana kemudahan dalam menghadapinya. Namun
di lain sisi, walaupun perkembangan ilmu cukup mengsankan, tetapi juga membawa
kepada kewaspadaan. Ilmu bisa menemukan nuklir, teknologi dan alat-alat canggih
lainnya yang nembuat manusia lebih mudah dalam segala hal, tetapi
penemuan-penemuan itu juga dapat merugikan kita.
Konsep etika juga menyita perhatian Freud yang ia bahas
dalam “id”, “ego”, dan “super ego” yang dikenal dengan “konsep kepribadian”.
“Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa
nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido
(konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras
antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang
mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi
destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan
praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat
dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang
destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah
sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara
murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan
ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah
mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan,
penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang
mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan
tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral,
dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk
dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam
penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka
diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan
nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu
pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi
well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat
moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Membahas masalah problem nilai dalam ilmu ini, muncul dua
pandangan yang mendebatkan antara pandangan yang mengenai bahwa ilmu adalah
bebas nilai atau tidak ada keterkaitan sama sekali dengan etika dan pandangan
yang menyatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai atau terkait erat dengan
etika.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi dari nilai?
2.
Apa perbedaan Fakta dan nilai?
3.
Bagaimana pandangan tentang ilmu bebas
nilai dan tidak?
C.
Pembahasan
Pengertian Nilai
Nilai secara singkat dapat dikatakan, ‘perkataan nilai ‘
kiranya mempunyai macam makna seperti berikut: Mengandung nilai (berguna bagi kehidupan baik
dalam masyarakat maupun kehidupan sehari- hari). Merupakan nilai (baik , benar, indah, dapat membedakan apa-apa yang
kita lihat rasa, dll). Mempunyai
nilai (merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap ‘setuju’ atau mempunyai nilai tertentu. Memberi nilai
(menggapai sesuatu hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan
nilai tertentu).
Sesuatu benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan
berhubung dengan itu, dapat dinilai. Hal- hal tersebut dapat mempunyai nilai
karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Pernyataan nilai
mempunyai nilai kebenaran, dan karena itu bernilai untuk pemberitahuan. Suatu
lukisan mempunyai nilai keindahan, dan berhubung dengan itu, bernilai bagi
mereka yang menghargai seni, seorang seniman memberi nilai kepada pernyataan-
pernyataan yang benar dan pecinta keindahan memberi nilai kepada karya- karya
seni.[ Kattsoff, louis o. hal 324 pengantar filsafat, tiara wacana, yogyakata.
2004].
Fakta dan Nilai
Terdapat perbedaan falsafi yang penting antara
pertimbangan fakta dan nilai. Pertimbangan tantang benda seperti jarak antara
new york dan san fransisco, tentang suatu model automobile tertentu, atau
(pertimbangan fakta ). Pertimbangan fakta merupakan pernyataan deskriptif[
Bersifat menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal manurut apa adanya] tentang
kualitas empiris atau hubungan. Pertimbangan tentang apakah suatu lukisan itu
indah, apakah seseorang harus menengok seorang kerabatnya yang sakit,
atau apakah tingkah laku temanmu itu benar, (pertimbangan nilai). Walaupun kita dapat membedakan antara pertimbangan fakta dan nilai, namun kita tak dapat memisahkan antara keduanya secara sempurna. Terdapat saling mempengaruhi (interaction) antara fakta dan nilai. Sebagai contoh jika saya harus main bola atau melakukan olahraga lainnya, atau menggunakan waktu untuk belajar, maka akan tergantung kepada fakta- fakta tentang kesehatan dan kondisi[ Nolan, Harold H dkk: hal 121 bulan bintang Jakarta 1984]
atau apakah tingkah laku temanmu itu benar, (pertimbangan nilai). Walaupun kita dapat membedakan antara pertimbangan fakta dan nilai, namun kita tak dapat memisahkan antara keduanya secara sempurna. Terdapat saling mempengaruhi (interaction) antara fakta dan nilai. Sebagai contoh jika saya harus main bola atau melakukan olahraga lainnya, atau menggunakan waktu untuk belajar, maka akan tergantung kepada fakta- fakta tentang kesehatan dan kondisi[ Nolan, Harold H dkk: hal 121 bulan bintang Jakarta 1984]
Nilai Subyektif dan Nilai Obyektif
a. Nilai subyektif
Gorge santaya berkata bahwa tidak ada nilai diluar
penghargaan kita terhadap nilai[ Ibid ] emosilah dan kesadaran keduanya penting
untuk adanya kebaikan dan pemahaman kita kepada kebaikan. Dewitt H. Parker
berkata bahwa nilai itu terdapat didalam alam yang dalam, alamnya akal,
kepuasan dan keinginan adalah nilai yang sesungguhnya, benda yang mengantar
kepad kepuasan hanyalah alat (instrument). Nilai itu selalu merupakan
pengalaman, bukannya benda atau obyek, benda- benda mungkin berharga tetapi
bukan nilai, nilai juga bersifat subyektif dalam artian bahwa nilai itu
bergantung kepada hubungan antara seorang penganut dan hal yang dinilai.
b. Nilai Obyektif
Mereka yang menyatakan bahwa nilai itu obyektif
beranggapan bahwa nilai itu terdapat di dunia kita ini dan harus kita gali
nilai/fakta (value fact). Kualitas atau kumpulan kualitas mengandung
pertimbangan kita. Sesuatu yang terpisah dari pengamat menarik perasaan moral
atau perasaan keindahan seseorang mempunyai perhatian kepada benda- benda dan
pengalaman- pengalaman yang nampak kepadanya, memiliki nilai, bukan
perhatiaanyalah yang memiliki nilai. Dalam istilah awam kita mengekspresikan
hal tersebut jika kita berkata lukisan menawan hatiku. Mereka yang menyokong
pendapat bahwa nilai obyektif dihargai oleh semua fihak dan bahwa diantara
orang- orang terpelajar dan semua kritikus terdapat kesempatan tentang nilai
estetik dan estetika[ Cabang dari filsafat yang menyelidiki nilai dalam seni
dan karya seni] itu sendiri berarti merasakan jadi nilai obyektif adalah
berkenaan dengan benda yangdapat kita rasakan.
Prinsip Pemilihan Nilai
Prinsip nilai intrinsik didahulukan atas nilai
ekstrinsik, sutu benda berharga secara intrinsik (baik dari dalam dirinya
sendiri) jika benda itu dinilai untuk dirinya sendiri dan bukan karena ia dapat
menghasilkan suatu lainnya. Suatu benda adalah berharga secara ekstrinsik (baik
karena suatu hal dari luar) jika benda itu merupakan sarana untuk mendapatkan
benda lain, kebanyakan benda- benda yang kita lihat dan kita pakai dalam
aktivitas kita sehari- hari, dari buku- buku sampai mesin tik, sampai ke
gedung- gedung dan lembaga- lembaga mempunyai nilai ekstrinsik.
Prinsip nilai yang produktif bersifat permanent
didahulukan terhadap nilai yang kurang produktif dan kurang permanen, beberapa
nilai seperti nilai ekonomis akan habis dalam aktivitas kehidupan, sedang nilai
seperti penyebab akan alam bertambah jika dipergunakan untuk nilai akal dan
jiwa bersama dengan orang lain tidak akan mengurangi nilai- nilai tersebut.
Bagi kita nilai ekonomi dan fisik walaupun perlu sekali bagi kehidupan, namun
tidak memuaskan secara permanen sebagai maksud intrinsik (dalam dirinya
sendiri). Kita harus memilih nilai- nilai kita atas dasar maksud- maksud yang
menjadi pilihan kita, dan atas dasar ide- ide kita. Nilai yang kita cari harus
merupakan kehidupan kita, T.H. Green berkata, “manusia yang bebas adalah
manusia yang sadar bahwa ia pencipta hokum ysng ia anut.”
Pandangan; Bebas Nilai Dalam Ilmu
Ilmu bebas nilai atau dalam bahasa inggris sering disebut
dengan value free menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom.
Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai.
Pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas
nilai mengartikan bahwa semua kegiatan terkait pada penyelidikan ilmiah harus
didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Etika hanya bekerja ketika ilmu telah
selesai bekerja. Etika hanya bisa diterapkan pada manusianya, yaitu ilmuan.
Yang harus dikenai nilai dan pernyataan normatif adalah ilmuan sebagai manusia.
Kelompok ini memegangi pandangan Francis Bacon bahwa ilmu adalah kekuasaan,
berkat atau malapetaka terletak pada orang yang menggunakan kakuasaan tersebut.
Kekuasaan terletak pada si pemilik pengetahuan. Josep Situmorang menyatakan
bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas
nilai, yaitu:
1.
Ilmu harus bebas dari
pengandaian-pengandaian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari
pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, religius, kultural, dan
sosial.
2.
Diperlukan adanya
kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut
kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3.
Penelitian ilmiah
tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan
ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Orang
yang mendukung bebas nilai dalam ilmu akan melakukannya berdasarkan nilai
khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Karena kebenaran di junjung tinggi sebagai
nilai, dan fakta merupakan sesuatu yang independen terhadap pengamat, sehingga
pengamat yang lain bisa mengamati dalam posisi dan prosedur yang sama. Kemudian
fakta-fakta dikelompokkan satu dengan yang lain dan keterhubungan ini menjadi
sesuatu yang mengikat secara prinsip yang disebut hukum dan kaidah. Untuk bisa
menjelaskan sesuatu hukum dibalik fakta diperlukan pendekatan dan metode.
Kebenaran
itu dikejar secara murni dan semua nilai dikesampingkan. Maka itu tuntutan agar
ilmu pengetahuan bebas nilai pada kenyataanya agak dekat dengan tuntutan Yunani
agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih. Hal semacam itu dapat dikatakan juga
tentang tuntutan yang mirip dengan tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas dari
setiap praandaian. Tuntutan ini pun tidak mungkin di maksudkan mutlak, karena
jika demikian berarti ia meniadakan dirinya sendiri.
Orang
yang menuntut sesuatu dari ilmu pengetahuan dengan sendirinya mengandaikan
sesuatu. Karena setiap ilmu berpangkal pada praandaian-praandaian yang
tersimpul dalam metode ilmu pengtahuan itu sendiri. Mengesampingkan
praandaian-praandaian serupa itu sama saja dengan melumpuhkan setiap pendekatan
metodis dan dengan demikian menghilangkan ciri khas segala ilmu pengetahuan.
Jadi, tuntutan agar suatu ilmu jangan bertolak dari praandaian-praandaian,
mestinya mempunyai maksud lain.
Ketika
kita menyelidiki praandaian-praandaian ilmu pengetahuan, telah kita bedakan
prinsip-prinsip konstitutif dan prinsip-prinsip yang menyangkut isi.
Prinsip-prinsip konstitutif sama dengan praadaian-praandaian yang dibicarakan
tadi. Tetapi prinsip-prinsip yang menyangkut isi tidak merupakan
praandaian-praandaian, melainkan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan. Memang
benar, kadang kala hasil-hasil ilmu pengetahuan itu dapat berfungsi sebagai
semacam praandaian, misalnya ilmu satu menggunakan hasil-hasil ilmu yang lain.
Bila seorang biolog menggunakan mikroskop elektron misalnya, ia mengandaikan
prinsip-prinsip teori fisika yang telah memungkinkan pembuatan alat itu. Bila
ia menerapkan metode kimia ia mengandaikan prinsip-prinsip kimia yang menjadi
dasarnya. Tetapi bahkan dalam kasus-kasus seperti itu tetap mungkin bahwa atas
dasar penggunaanya dalam biologi bisa timbul keraguan tentang benarnya
prinsip-prinsip itu, prinsip-pinsip itu hanya sekedar praandaian-praandaian
relatif.
Tentu saja, jika dituntut agar ilmu pengetahuan itu tanpa praandaian, maksudnya bukanlah praandaian-praandaian seperti itu, sebab tanpa menggunakan prinsip-prinsip dari ilmu lain tidak akan mungkin lagi bahwa satu ilmu membantu ilmu yang lain. Yang harus ditolak adalah bahwa prinsip-prinsip yang menyangkut isi dalam salah satu ilmu digunakan secara dogmatis, sehingga atas dasar tradisi atau jasanya dimasa lampau akan diberlakukan secara mutlak. Jika demikian, prinsip-prinsip semacam itu menjadi praandaian dan kehilangan sifatnya sebagai tesis-tesis yang dapat diuji. Jadi, suatu ilmu itu merasa diri otonom, sekalipun ia tidak mendasari praandaian-praandaiannya sendiri, tetapi mengambilnya dari suatu pengalaman lebih luas daripada bidang ilmiahnya yang spesifik. Tambah lagi, karena tidak bersifat refleksif, ilmu bersangkuatan tidak sanggup pula memikirkan prinsif-prinsif konstitutif secara kritis. Hal itu pun tidak mengisyaratkan adanya otonomi. Namun demikian, setiap ilmu ingin menentukan sendiri apa yang menjadi metodenya.
Tentu saja, jika dituntut agar ilmu pengetahuan itu tanpa praandaian, maksudnya bukanlah praandaian-praandaian seperti itu, sebab tanpa menggunakan prinsip-prinsip dari ilmu lain tidak akan mungkin lagi bahwa satu ilmu membantu ilmu yang lain. Yang harus ditolak adalah bahwa prinsip-prinsip yang menyangkut isi dalam salah satu ilmu digunakan secara dogmatis, sehingga atas dasar tradisi atau jasanya dimasa lampau akan diberlakukan secara mutlak. Jika demikian, prinsip-prinsip semacam itu menjadi praandaian dan kehilangan sifatnya sebagai tesis-tesis yang dapat diuji. Jadi, suatu ilmu itu merasa diri otonom, sekalipun ia tidak mendasari praandaian-praandaiannya sendiri, tetapi mengambilnya dari suatu pengalaman lebih luas daripada bidang ilmiahnya yang spesifik. Tambah lagi, karena tidak bersifat refleksif, ilmu bersangkuatan tidak sanggup pula memikirkan prinsif-prinsif konstitutif secara kritis. Hal itu pun tidak mengisyaratkan adanya otonomi. Namun demikian, setiap ilmu ingin menentukan sendiri apa yang menjadi metodenya.
Pandangan;
Terikat Nilai Dalam Ilmu
Berbeda
dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang terikat nilai (value bond) memandang
bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangan dengan
mempertimbangkan aspek nilai dan terutama nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak
mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik
politis, ekonomis, religius, ekologis, dan lain-lain sebagainya. Dalam
pandangan terikat nilai ini kata “nilai” juga memiliki makna yang lebih luas.
Pertama, makna nilai bukan hanya dalam konteks baik buruk tetapi juga dalam
konteks ada kepentingan atau tidak. Kedua, terikat nilai tidak hanya berlaku
bagi ilmuan tetapi juga bagi ilmu itu sendiri, sehingga memasuki wilayah epistemologis.
Keduanya saling tekait.
Mengenai
hal ini, pertanyaan yang diajukan adalah apakah ilmu bebas dari kepentingan?.
Beberapa filosofis menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas dari kepentingan.
Diantaranya, menurut Gadamer, ilmu hanya bisa bekerja karena ia tertancap dalam
tradisi yang telah berlangsung lama sehingga seseorang tidak mungkin netral
terhadap seluruh tradisi. Justru tradisi yang memungkinkan manusia membangun
pengetahuan atau ilmu. Michel Foucault juga menunjukkan bahwa ilmu merupakan
kekuasaan. Ilmu melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan melahirkan ilmu. Kuasa
adalah kekuatan untuk mendefinisikan dan menisiplinkan, normalisasidan regulasi
pihak lain melalui pertukaran wacana. Ilmu merupakan bangunan kompleks wacana.
Jurgen Habermas berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah
mungkin bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu selalu ada
kepentingan-kepentingan. Dia membedakan tiga macam ilmu dengan kepentingannya
masing-masing.
1.
Berupa ilmu-ilmu alam
yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu-ilmu ini menyelidiki gejala-gejala
alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan itu untuk
kepentingan-kepentingan manusia. Teori-teori ilmiah disusun, agar dirinya dapat
diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang bersifat teknis. Pengetahuan
teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia mengelola dunia atau
alamnya. Maka tampaklah disini bahwa ilmu-ilmu ini memperlihatkan pola hubungan
manusia dan dunia, manusia mengelola dan menggarap dunia. Dalam ilmu-ilmu ini
ditunjukkan aspek pekerjaan dalam sosialita manusia (labor), sedang kepentingan
manusia yang terkandung dalam ilmu itu adalah prediksi dan pengawasan terhadap
alam.
2.
Pengetahuan yang
memiliki pola yang sangat berlainan, sebab tidak menyelidiki sesuatu dan tidak
menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya,
memperlancar hubungan sosial. Oleh Habermas ini disebut dengan studi
histori-hermeneutik. Sifat historis memperlihatkan adanya gejala perkembangan
dari objek yang diselidiki, yakni manusia. Hasil yang dihasilkan disini adalah
kemampuan komunikasi, saling pengertian karena pemahaman makna. Dan hermeneutik
yaitu penafsiran menurut tata cara tertentu yang dihasilkan oleh pengetahuan
itu. Aspek kemasyarakatan yang dibahas disini adalah hubungan sosial atau
interaksi, sedangkan kepentingan yang di tuju oleh pengetahun ini adalah
pemahaman makna.
3.
Teori kritis, teori
yang membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya
sendiri. Disini, sadar diri sangat dipentingkan. Aspek sosial yang mendasarinya
adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang di kejar adalah pembebasan atau
emansipasi manusia.
Jelas
sekali dalam pandangan Harbermas bahwa ilmu itu sendiri dikonstruksi untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan
alam, manusia dan manusia, dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika
lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin
bekerja lepas dari nilai.
Dari
pendapat ketiga filsuf tersebut diatas dipahami bahwasannya ilmu itu sebagai
terikat nilai, baik pada ilmu itu sendiri maupun pada ilmuannya. Prosedur ilmu
tidak senetral yang di sangka. Didalamnya telah terserap tradisi, kepentingan,
dan kekuasaan. Maka dengan sendirinya keterkaitan ilmu juga berlaku bagi
ilmuannya
D.
Kesimpulan
Setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun dalam
fikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat
memperoleh nilai jika pada suatu ketika berhubungan subyek- subyek yang
mempunyai kepentingan. Dengan kata lain jika seseorang mempunyai kepentingan
pada suatu apapun, maka hal tersebut mempunyai nilai. Menurut perry [ Kattsoff,
louis o. hal 329 pengantar filsafat, tiara wacana, yogyakata. 2004].
Problem
ilmu bebas atau tidak bebas nilai menunjukkan antara hubungan ilmu dan etika.
Ilmu bebas atau tidak bebas nilai bergantung pada pandangan seseorang terhadap
ilmu itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,K, 2004, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ghazali, Bachri, Usman, dan Riswantoro, Alim, 2005,
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Melsen, A.G.M. van, 1992, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung
Jawab Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
Yogyakarta: Kanisius
Usman, 2009, Handout Filsafat Ilmu, Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga
Kattsoff, Louis O. pengantar filsafat, Tiara Wacana,
Yogyakata. 2004
Nolan, Harold H dkk: Bulan Bintang Jakarta 1984
Nolan, Harold H dkk: Bulan Bintang Jakarta 1984
Wynn Slots - JW Marriott Boston Harbor
ReplyDeleteBook your stay 세종특별자치 출장안마 at 당진 출장샵 Wynn 시흥 출장안마 Slots in Boston, MA 문경 출장안마 and enjoy exclusive 15% off hotel room and suite upgrades! Book 대전광역 출장안마 now and save!