Popular Posts

Thursday, October 16, 2014

PROBLEMATIKA NILAI DALAM ILMU


A.    Pendahuluan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sedangkan Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Menurut The Liang Gie (1999)[ http://www.google 22-10-08, 20:30], filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik  dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Nilai merupakan tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian.bagi kebanyakan orang penilaian terjadi secara terus menerus dan jika suatu (benda fisik cara bertindak seseorang) harus diutamakan atau dipilih.
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan aksiologi. Selain etika yang termasuk dalam kajian aksiologis adalah estetika atau teori tentang keindahan. Etika sering disamakan dengan moralitas, padahal kuduanya berbeda. Moralitas adalah nilai-nilai perilaku orang atau masyarakat sebagaimana bisa ditemukan dalam kehidupan real sehari-hari, yang belum disistematisasi sebagai suatu teori. Ketika perilaku-perilaku moral dirumuskan menjadi teori-teori, maka disebut etika. Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti, dan apa yang baik bagi manusia. Dalam etika yang lebih ditekankan adalah masalah baik dan buruknya suatu tindakan manusia, bukan masalah kebenaran suatu perbuatan manusia.
Etika baru menjadi ilmu bila ada kemungkinan –kemungkinan etis, yakni asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk, yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat tanpa disadari. Nah, ketika berbicara etika dalam kaitannya dengan ilmu, banyak fenomena yang menyebabkan orang bertanya tentang nilai suatu ilmu. Pada satu sisi ilmu mengklaim nilai kegunaanya, ilmu membuktikan dirinya dapat membantu manusia dalam menjelaskan dan memahami hidup serta memberikan sarana kemudahan dalam menghadapinya. Namun di lain sisi, walaupun perkembangan ilmu cukup mengsankan, tetapi juga membawa kepada kewaspadaan. Ilmu bisa menemukan nuklir, teknologi dan alat-alat canggih lainnya yang nembuat manusia lebih mudah dalam segala hal, tetapi penemuan-penemuan itu juga dapat merugikan kita.
Konsep etika juga menyita perhatian Freud yang ia bahas dalam “id”, “ego”, dan “super ego” yang dikenal dengan “konsep kepribadian”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Membahas masalah problem nilai dalam ilmu ini, muncul dua pandangan yang mendebatkan antara pandangan yang mengenai bahwa ilmu adalah bebas nilai atau tidak ada keterkaitan sama sekali dengan etika dan pandangan yang menyatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai atau terkait erat dengan etika.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apakah definisi dari nilai?
2.         Apa perbedaan Fakta dan nilai?
3.         Bagaimana pandangan tentang ilmu bebas nilai dan tidak?

C.    Pembahasan
Pengertian Nilai
Nilai secara singkat dapat dikatakan, ‘perkataan nilai ‘ kiranya mempunyai macam makna seperti berikut: Mengandung nilai (berguna bagi kehidupan baik dalam masyarakat maupun kehidupan sehari- hari). Merupakan nilai (baik , benar, indah, dapat membedakan apa-apa yang kita lihat rasa, dll). Mempunyai nilai (merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap ‘setuju’ atau mempunyai nilai tertentu. Memberi nilai (menggapai sesuatu hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).
Sesuatu benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan berhubung dengan itu, dapat dinilai. Hal- hal tersebut dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Pernyataan nilai mempunyai nilai kebenaran, dan karena itu bernilai untuk pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai keindahan, dan berhubung dengan itu, bernilai bagi mereka yang menghargai seni, seorang seniman memberi nilai kepada pernyataan- pernyataan yang benar dan pecinta keindahan memberi nilai kepada karya- karya seni.[ Kattsoff, louis o. hal 324 pengantar filsafat, tiara wacana, yogyakata. 2004].
Fakta dan Nilai
Terdapat perbedaan falsafi yang penting antara pertimbangan fakta dan nilai. Pertimbangan tantang benda seperti jarak antara new york dan san fransisco, tentang suatu model automobile tertentu, atau (pertimbangan fakta ). Pertimbangan fakta merupakan pernyataan deskriptif[ Bersifat menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal manurut apa adanya] tentang kualitas empiris atau hubungan. Pertimbangan tentang apakah suatu lukisan itu indah, apakah seseorang harus menengok seorang kerabatnya yang sakit, 
atau apakah tingkah laku temanmu itu benar, (pertimbangan nilai). Walaupun kita dapat membedakan antara pertimbangan fakta dan nilai, namun kita tak dapat memisahkan antara keduanya secara sempurna. Terdapat saling mempengaruhi (interaction) antara fakta dan nilai. Sebagai contoh jika saya harus main bola atau melakukan olahraga lainnya, atau menggunakan waktu untuk belajar, maka akan tergantung kepada fakta- fakta tentang kesehatan dan kondisi[ Nolan, Harold H dkk: hal 121 bulan bintang Jakarta 1984]
Nilai Subyektif dan Nilai Obyektif
a. Nilai subyektif
Gorge santaya berkata bahwa tidak ada nilai diluar penghargaan kita terhadap nilai[ Ibid ] emosilah dan kesadaran keduanya penting untuk adanya kebaikan dan pemahaman kita kepada kebaikan. Dewitt H. Parker berkata bahwa nilai itu terdapat didalam alam yang dalam, alamnya akal, kepuasan dan keinginan adalah nilai yang sesungguhnya, benda yang mengantar kepad kepuasan hanyalah alat (instrument). Nilai itu selalu merupakan pengalaman, bukannya benda atau obyek, benda- benda mungkin berharga tetapi bukan nilai, nilai juga bersifat subyektif dalam artian bahwa nilai itu bergantung kepada hubungan antara seorang penganut dan hal yang dinilai.
b. Nilai Obyektif
Mereka yang menyatakan bahwa nilai itu obyektif beranggapan bahwa nilai itu terdapat di dunia kita ini dan harus kita gali nilai/fakta (value fact). Kualitas atau kumpulan kualitas mengandung pertimbangan kita. Sesuatu yang terpisah dari pengamat menarik perasaan moral atau perasaan keindahan seseorang mempunyai perhatian kepada benda- benda dan pengalaman- pengalaman yang nampak kepadanya, memiliki nilai, bukan perhatiaanyalah yang memiliki nilai. Dalam istilah awam kita mengekspresikan hal tersebut jika kita berkata lukisan menawan hatiku. Mereka yang menyokong pendapat bahwa nilai obyektif dihargai oleh semua fihak dan bahwa diantara orang- orang terpelajar dan semua kritikus terdapat kesempatan tentang nilai estetik dan estetika[ Cabang dari filsafat yang menyelidiki nilai dalam seni dan karya seni] itu sendiri berarti merasakan jadi nilai obyektif adalah berkenaan dengan benda yangdapat kita rasakan.
Prinsip Pemilihan Nilai 
Prinsip nilai intrinsik didahulukan atas nilai ekstrinsik, sutu benda berharga secara intrinsik (baik dari dalam dirinya sendiri) jika benda itu dinilai untuk dirinya sendiri dan bukan karena ia dapat menghasilkan suatu lainnya. Suatu benda adalah berharga secara ekstrinsik (baik karena suatu hal dari luar) jika benda itu merupakan sarana untuk mendapatkan benda lain, kebanyakan benda- benda yang kita lihat dan kita pakai dalam aktivitas kita sehari- hari, dari buku- buku sampai mesin tik, sampai ke gedung- gedung dan lembaga- lembaga mempunyai nilai ekstrinsik.
Prinsip nilai yang produktif bersifat permanent didahulukan terhadap nilai yang kurang produktif dan kurang permanen, beberapa nilai seperti nilai ekonomis akan habis dalam aktivitas kehidupan, sedang nilai seperti penyebab akan alam bertambah jika dipergunakan untuk nilai akal dan jiwa bersama dengan orang lain tidak akan mengurangi nilai- nilai tersebut. Bagi kita nilai ekonomi dan fisik walaupun perlu sekali bagi kehidupan, namun tidak memuaskan secara permanen sebagai maksud intrinsik (dalam dirinya sendiri). Kita harus memilih nilai- nilai kita atas dasar maksud- maksud yang menjadi pilihan kita, dan atas dasar ide- ide kita. Nilai yang kita cari harus merupakan kehidupan kita, T.H. Green berkata, “manusia yang bebas adalah manusia yang sadar bahwa ia pencipta hokum ysng ia anut.” 
Pandangan; Bebas Nilai Dalam Ilmu
Ilmu bebas nilai atau dalam bahasa inggris sering disebut dengan value free menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai mengartikan bahwa semua kegiatan terkait pada penyelidikan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Etika hanya bekerja ketika ilmu telah selesai bekerja. Etika hanya bisa diterapkan pada manusianya, yaitu ilmuan. Yang harus dikenai nilai dan pernyataan normatif adalah ilmuan sebagai manusia. Kelompok ini memegangi pandangan Francis Bacon bahwa ilmu adalah kekuasaan, berkat atau malapetaka terletak pada orang yang menggunakan kakuasaan tersebut. Kekuasaan terletak pada si pemilik pengetahuan. Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
1.         Ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, religius, kultural, dan sosial.
2.         Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3.         Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Orang yang mendukung bebas nilai dalam ilmu akan melakukannya berdasarkan nilai khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Karena kebenaran di junjung tinggi sebagai nilai, dan fakta merupakan sesuatu yang independen terhadap pengamat, sehingga pengamat yang lain bisa mengamati dalam posisi dan prosedur yang sama. Kemudian fakta-fakta dikelompokkan satu dengan yang lain dan keterhubungan ini menjadi sesuatu yang mengikat secara prinsip yang disebut hukum dan kaidah. Untuk bisa menjelaskan sesuatu hukum dibalik fakta diperlukan pendekatan dan metode.
Kebenaran itu dikejar secara murni dan semua nilai dikesampingkan. Maka itu tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai pada kenyataanya agak dekat dengan tuntutan Yunani agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih. Hal semacam itu dapat dikatakan juga tentang tuntutan yang mirip dengan tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas dari setiap praandaian. Tuntutan ini pun tidak mungkin di maksudkan mutlak, karena jika demikian berarti ia meniadakan dirinya sendiri.
Orang yang menuntut sesuatu dari ilmu pengetahuan dengan sendirinya mengandaikan sesuatu. Karena setiap ilmu berpangkal pada praandaian-praandaian yang tersimpul dalam metode ilmu pengtahuan itu sendiri. Mengesampingkan praandaian-praandaian serupa itu sama saja dengan melumpuhkan setiap pendekatan metodis dan dengan demikian menghilangkan ciri khas segala ilmu pengetahuan. Jadi, tuntutan agar suatu ilmu jangan bertolak dari praandaian-praandaian, mestinya mempunyai maksud lain.
Ketika kita menyelidiki praandaian-praandaian ilmu pengetahuan, telah kita bedakan prinsip-prinsip konstitutif dan prinsip-prinsip yang menyangkut isi. Prinsip-prinsip konstitutif sama dengan praadaian-praandaian yang dibicarakan tadi. Tetapi prinsip-prinsip yang menyangkut isi tidak merupakan praandaian-praandaian, melainkan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan. Memang benar, kadang kala hasil-hasil ilmu pengetahuan itu dapat berfungsi sebagai semacam praandaian, misalnya ilmu satu menggunakan hasil-hasil ilmu yang lain. Bila seorang biolog menggunakan mikroskop elektron misalnya, ia mengandaikan prinsip-prinsip teori fisika yang telah memungkinkan pembuatan alat itu. Bila ia menerapkan metode kimia ia mengandaikan prinsip-prinsip kimia yang menjadi dasarnya. Tetapi bahkan dalam kasus-kasus seperti itu tetap mungkin bahwa atas dasar penggunaanya dalam biologi bisa timbul keraguan tentang benarnya prinsip-prinsip itu, prinsip-pinsip itu hanya sekedar praandaian-praandaian relatif.
Tentu saja, jika dituntut agar ilmu pengetahuan itu tanpa praandaian, maksudnya bukanlah praandaian-praandaian seperti itu, sebab tanpa menggunakan prinsip-prinsip dari ilmu lain tidak akan mungkin lagi bahwa satu ilmu membantu ilmu yang lain. Yang harus ditolak adalah bahwa prinsip-prinsip yang menyangkut isi dalam salah satu ilmu digunakan secara dogmatis, sehingga atas dasar tradisi atau jasanya dimasa lampau akan diberlakukan secara mutlak. Jika demikian, prinsip-prinsip semacam itu menjadi praandaian dan kehilangan sifatnya sebagai tesis-tesis yang dapat diuji. Jadi, suatu ilmu itu merasa diri otonom, sekalipun ia tidak mendasari praandaian-praandaiannya sendiri, tetapi mengambilnya dari suatu pengalaman lebih luas daripada bidang ilmiahnya yang spesifik. Tambah lagi, karena tidak bersifat refleksif, ilmu bersangkuatan tidak sanggup pula memikirkan prinsif-prinsif konstitutif secara kritis. Hal itu pun tidak mengisyaratkan adanya otonomi. Namun demikian, setiap ilmu ingin menentukan sendiri apa yang menjadi metodenya.
Pandangan; Terikat Nilai Dalam Ilmu
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang terikat nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangan dengan mempertimbangkan aspek nilai dan terutama nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, religius, ekologis, dan lain-lain sebagainya. Dalam pandangan terikat nilai ini kata “nilai” juga memiliki makna yang lebih luas. Pertama, makna nilai bukan hanya dalam konteks baik buruk tetapi juga dalam konteks ada kepentingan atau tidak. Kedua, terikat nilai tidak hanya berlaku bagi ilmuan tetapi juga bagi ilmu itu sendiri, sehingga memasuki wilayah epistemologis. Keduanya saling tekait.
Mengenai hal ini, pertanyaan yang diajukan adalah apakah ilmu bebas dari kepentingan?. Beberapa filosofis menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas dari kepentingan. Diantaranya, menurut Gadamer, ilmu hanya bisa bekerja karena ia tertancap dalam tradisi yang telah berlangsung lama sehingga seseorang tidak mungkin netral terhadap seluruh tradisi. Justru tradisi yang memungkinkan manusia membangun pengetahuan atau ilmu. Michel Foucault juga menunjukkan bahwa ilmu merupakan kekuasaan. Ilmu melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan melahirkan ilmu. Kuasa adalah kekuatan untuk mendefinisikan dan menisiplinkan, normalisasidan regulasi pihak lain melalui pertukaran wacana. Ilmu merupakan bangunan kompleks wacana. Jurgen Habermas berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia membedakan tiga macam ilmu dengan kepentingannya masing-masing.
1.         Berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu-ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan itu untuk kepentingan-kepentingan manusia. Teori-teori ilmiah disusun, agar dirinya dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang bersifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia mengelola dunia atau alamnya. Maka tampaklah disini bahwa ilmu-ilmu ini memperlihatkan pola hubungan manusia dan dunia, manusia mengelola dan menggarap dunia. Dalam ilmu-ilmu ini ditunjukkan aspek pekerjaan dalam sosialita manusia (labor), sedang kepentingan manusia yang terkandung dalam ilmu itu adalah prediksi dan pengawasan terhadap alam.
2.         Pengetahuan yang memiliki pola yang sangat berlainan, sebab tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Oleh Habermas ini disebut dengan studi histori-hermeneutik. Sifat historis memperlihatkan adanya gejala perkembangan dari objek yang diselidiki, yakni manusia. Hasil yang dihasilkan disini adalah kemampuan komunikasi, saling pengertian karena pemahaman makna. Dan hermeneutik yaitu penafsiran menurut tata cara tertentu yang dihasilkan oleh pengetahuan itu. Aspek kemasyarakatan yang dibahas disini adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang di tuju oleh pengetahun ini adalah pemahaman makna.
3.         Teori kritis, teori yang membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Disini, sadar diri sangat dipentingkan. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang di kejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.
Jelas sekali dalam pandangan Harbermas bahwa ilmu itu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan manusia, dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja lepas dari nilai.
Dari pendapat ketiga filsuf tersebut diatas dipahami bahwasannya ilmu itu sebagai terikat nilai, baik pada ilmu itu sendiri maupun pada ilmuannya. Prosedur ilmu tidak senetral yang di sangka. Didalamnya telah terserap tradisi, kepentingan, dan kekuasaan. Maka dengan sendirinya keterkaitan ilmu juga berlaku bagi ilmuannya

D.    Kesimpulan
Setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun dalam fikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika pada suatu ketika berhubungan subyek- subyek yang mempunyai kepentingan. Dengan kata lain jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal tersebut mempunyai nilai. Menurut perry [ Kattsoff, louis o. hal 329 pengantar filsafat, tiara wacana, yogyakata. 2004].
Problem ilmu bebas atau tidak bebas nilai menunjukkan antara hubungan ilmu dan etika. Ilmu bebas atau tidak bebas nilai bergantung pada pandangan seseorang terhadap ilmu itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Bertens,K, 2004, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ghazali, Bachri, Usman, dan Riswantoro, Alim, 2005, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Melsen, A.G.M. van, 1992, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius
Usman, 2009, Handout Filsafat Ilmu, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Kattsoff, Louis O. pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogyakata. 2004
Nolan, Harold H dkk: Bulan Bintang Jakarta 1984

1 comment:

  1. Wynn Slots - JW Marriott Boston Harbor
    Book your stay 세종특별자치 출장안마 at 당진 출장샵 Wynn 시흥 출장안마 Slots in Boston, MA 문경 출장안마 and enjoy exclusive 15% off hotel room and suite upgrades! Book 대전광역 출장안마 now and save!

    ReplyDelete