Popular Posts

Sunday, October 19, 2014

Dinasti Muwahidun


Pada masa akhir Murabithun, Abdullah ibn Tumart, seorang sufi Masjid Cardoba, melihat sepak terjang kaum Murabithun, ia ingin memperbaikinya. Ia kemudian berangkat ke Baghdad dan menambah ilmu kepada iman al-Ghazali. Setelah dirasa memadai ia kembali, tinggal di Maroko. Disitu ia mulai mengkritik dan mencela perbuatan raja-raja Murabithun yang bersalahan dengan syari’at Islam yang menurut fahamnya tidak mengikuti sunnah Rasul.
Selain itu dalam catatan sejarah, Ibnu Tumart pernah belajar di pusat-pusat studi Islam kenamaan, seperti di Cardoba, Alexandria, Makah dan Bagdad. Dikota Bagdad, Ibnu Tumart pernah belajar di Madrasah Nidlamiyah, sebuah perguruan tinggi  terkemuka di kota Bagdad. Dalam pengembaraan ilmiahnya banyak berdialog dengan pemikiran-pemikiran yang aktual saat itu, diantaranya adalah soal tidak diperlukan lagi bagi para penganut mazhab Maliki untuk belajar tafsir Al-Qur’an dan Al-Hadist, karena keduanya telah dilakukan oleh Imam Malik. Kenyataan ini membuat Ibnu Tumart merasa ditantang. Untuk mengimbangi pemikiran seperti itu, ia menyerukan kepada umat Islam di Andalusia, agar menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits serta ijma’ sahabat sebagai dasar dari ajaran Islam. Selain itu ia menolak ra’yu dan Qias sebagai dasar hukum Pemikiran keagamaan dan hukum yang stagnan (mandek) serta pendidikan yang rendah pada masa pemerintahan dinasti Murabithun, dijadikan sebagai motivasi  dirinya untuk pergi ke Bahdad mencari ilmu. Sekembalinya dari Bagdad ke Afrika Utara, Ibnu Tumart pada tahun 1100 M bertekad untuk melakukan pemurnian ajaran Islam. Karena menurutnya, ajaran Islam di bawah Murabithun, mengalami penyimpangan. Gerakan ini didasari atas keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, berdasarkan Tauhid. Karena itu, gerakan ini kemudian dikenal dengan sebutan Muwahiddun.
Meskipun Ibnu Tumart dianggap sebagai pencetus gerakan Muwahidun, namun ia sendiri tidak pernah menjadi sultan.Yang lebih terkenal adalah Abd al-Mu’min yang awalnya sebagai  panglima. Ia akhirnya memimpin dinasti al-Muwahhidun selama 33 tahun (1130-1163) dengan membawa kemajuan pesat. Ibnu Tumart sebagai pencetus , mula-mula pergi ke Tanmaal di wilayah Sus untuk menyusun kekuatan. Yang pertama dilakukan adalah memberantas paham golongan Murabbitun yang menyimpang, menyerukan kemurnian tauhid menentang kekafiran, antrophomorpisme dan mengajak umat menjalankan amar ma’ruf nahi munkar walau harus dengan kekerasan. Murid-murid disuruh membuat benteng agar sukar bagi musuh hendak memasukinya. Di Tanmaal  inilah Ibnu Tumart merumuskan sistem militernya sebagai organisasi pemerintahan .
Ensiklopedi Islam III, penyebutan nama gerakan ini dengan nama Al-Muwahhidin, yang artinya golongan yang berfaham tauhid, didasarkan atas prinsip dakwah Ibnu Tumart yang memerangi faham al- tajsim, yang menganggap bahwa Tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme). Ibnu Tumart sendiri mendakwahkan bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat Tuhan yang tersebut dalam kitab suci Al-Qur’an, seperti “tangan Tuhan”, tidak dapat ditakwilkan (dijelaskan), tapi dia harus dipahami apa adanya. Justru itu faham al-tajsim adalah benar-benar musyrik dan harus diperangi.   Ibnu Tumart menganggap bahwa menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran harus dilakukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, dalam mendakwahkan prinsipnya, Ibnu Tumart tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Seperti yang dilakukannya kepada saudara perempuan seorang gebernur di kota Fez, dengan cara memukul gadis tersebut karena tidak memakai kerudung. Bahkan tradisi yang sudah berurat berakar pun, seperti minuman khamar, musik dan kesenangan terhadap pakaian yang mewah, ditentang habis-habisan oleh Ibnu Tumart.
           Sikap keras yang diperankan oleh Ibnu Tumart ini ditentang oleh sebagian besar masyarakat, terutama ulama dan penguasa. Untunglah dakwahnya kemudian diterima dan mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar seperti suku Haraqah, Hantamah, Jaduniwiyah, dan Janfisah. Setelah mendapat pengikut yang banyak dan kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka di sukunya, pada tahun 1121 M ia mengaku dirinya sebagai Al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan pemerintahan Islam yang didasari atas prinsip ketauhidan.
Untuk mengujudkan semua keinginannya, Ibnu Tumart mengirim sejumlah pengikutnya ke berbagai tempat untuk mengajak penduduk itu ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam dan menyelamatkan diri dari ajaran kelompok Murabithun yang dianggap telah menyekutukan Allah. Anjuran yang selalu diajarkan kepada pengikutnya adalah untuk berakhlak mulia, taat undang-undang, shalat tepat pada waktunya, membawa wirid yang dibuat Al-Mahdi dan buku-buku akidah Muwahidun.
Sejak ia mengaku dirinya sebagai Al-Mahdi, pengikutnya terus bertambah  dan berhasil menghimpun sejumlah orang Barbar yang ketuanya adalah sahabat atau murid Ibnu Tumart. Dari sinilah kemudian Ibnu Tumart menyusun konsep dan memberikan definisi yang jelas bagi kelompoknya.
Dari beberapa uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya dakwah Ibnu Tumart adalah murni didasari oleh keagamaan, artinya tidak didasari oleh kepentingan-kepentingan lain melainkan semata-mata menegakkan tauhid secara murni. Namun seiring dengan waktu dan jumlah pengikutnya semakin bertambah karena didasari dengan dakwahnya dapat diterima oleh orang banyak, disisi lain Dinasti Murabitun semakin lemah, akhirnya Ibnu Tumart berambisi untuk menjatuhkan dan merebut kekuasaan Dinasti Murabithun. Selanjutnya dibentuklah kota sebagai pusat pemerintahan, yaitu suatu daerah di bagian Selatan Maroko, dan dari sini pulalah dilancarkan seruan perang suci untuk menaklukan daerah-daerah sekitarnya. Sarana utama yang digunakan  dalam koordinir kegiatan jama’ah, Ibnu Tumart membangun sebuah Mesjid yang megah di Ibu kota Dinasti al-Muwahhidin.
Adapun stuktur Negara dalam pemerintahan Al-Muwahidun yang di bentuk Ibnu Tumart terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut :
1.         Al-Asyrah (dewan Sepuluh) semacam Dewan Menteri disebut juga dengan nama Ahl al-Jama’ ah.
2.         Al-Khamsin (Dewan Lima Puluh) semacam senat.
3.         Al-sabi’in (Dewan Tujuh Puluh) semacam Dewan Perwakilan Rakyat.
4.         Al-Talabah, Dewan Ahli yang terdiri dari Ulama-ulama Yunior.
5.         Ahl-Dar (keluarga Istana).
6.         Kabilah Haragah yaitu Kabilah Ibnu Tumart sendiri.
7.         Ahl Tainmul (Pasukan Inti) mewakili beberapa kabilah.
8.         Kabilah Jadmiwah.
9.         Kabilah Janfisah.
10.     Kabilah Hantamah.
11.     Kabila-kabilah Al-Muwahhidun.
12.     Para Prajurit.
13.     Al-Girrat, yaitu rakyat biasa .
Dari ketiga belas stuktur diatas, masing-masing kelompok telah mempunyai tugas dan tanggungjawabnya, namun   kedudukan yang paling tinggi adalah urutan pertama  (al-‘Asyrah) yang sekaligus berwenang untuk memilih, mengangkat dan membai’at imam atau kepala pemerintahan. Dan semua struktur yang ada sama-sama mempunyai kewajiban dan tugas yang sama dalam mensukseskan dakwah Al-Muwahhidin.
           Kontak pertama dengan Murabithun terjadi ketika Gubernur Sus dengan pasukannya menyerang suku Hurglah yang membangkang terhadap pemerintahan Murabithun. Tetapi pasukan itu dapat dikalahkan oleh kelompok Muwahhidun. Kemenangan pertama ini membangkitkan semangat kelompok Muwahhidun untuk melakukan serangan ke Maroko. Dengan kekuatan besar, kelompok Muwahiddun berusaha menaklukan Maroko pada tahun 1125 M, tetapi gagal.
Setelah mempunyai pengikut yang besar, maka pada tahun 1129 dengan jumlah pasukan 40.000 orang dibawah komando Abu Muhammad Al-Basyir Al-Wansyarisi, mereka menyerang kota Marrakech, sebagai salah satu kota penting dalam dinasti Al-Murabithun, yang terkenal dalam sejarah dengan nama “Perang Buhairah”. Dalam peperangan ini pihak Al-Muwahhidun menderita kekakalahan, banyak diantara prajuritnya yang gugur serta beberapa anggota al-Asrah termasuk komandannya sendiri Al-Wansyarisi, dan empat bulan kemudian Ibnu Tumart sendiri juga wafat.
Sesudah Ibnu Tumart meninggal dunia, Abdul Mukmin bin Ali, dibai’at sebagai penggantinya. Setelah mendapat pengakuan dan dinobatkan oleh Dewan 10 orang. Ia diberi gelar bukan Al-mahdi, melainkan Khalifah. Pada masa kepemimpinannya inilah Al-Muwahhidin banyak meraih kemenangan dalam beberapa peperangan.
Setelah dinyatakan sebagai khalifah, langkah pertama dilakukannya adalah menundukkan kabilah-kabilah di Afrika Utara dan mengakhiri kekuasaan Murabithun di Afrika Utara. Sejak tahun 1144-1146 M, ia berhasil menguasai kota-kota yang pernah dikuasai Murabithun, seperti Tlemcen, Fez, Tangier dan Aghmat. Setelah itu Andalusia dikuasainya pada tahun 1145 M. Kemudian pada tahun 1147 M seluruh wilayah Murabithun dikuasai Muwahhidun.
Sejak Marrakech dikuasai, pada tahun 1146 Abdul Mukmin bin Ali memindahkan ibu kota pemerintahan dari Tinmal ke kota tersebut dan dari sana ia menyusun ekspansinya ke berbagai daerah, sehingga ia bisa menguasai Al-Jazair (1152), Tunisia (1158), Tripoli–Libya (1160).
Dalam masa pemerintahan Abdul Mukmin bin Ali inilah, wilayah kekuasaan Al-Muwahidun membentang dari Tripoli hingga ke Samudra Atlantik sebelah barat, merupakan suatu prestasi gemilang yang belum pernah dicapai Dinasti atau Kerajaan manapun di Afrika Utara.
Pada tahun 1162 Abdul Mukmin bin Ali meninggal dunia, beliau digantikan puteranya sendiri yang bernama Abu Ya’kub Yusuf bin Abdul Mukmin, yang sama seperti ayahnya ingin memperluas wilayah kekuasaannya, baik ke Utara maupun ke Timur.
Dalam masa kepemimpinannya paling tidak ada dua kali penyerangan yang dilakukannya ke Andalusia. Pertama pada tahun 1169 di bawah pimpinan saudaranya Abu Hafs, mereka berhasil merebut Toledo, kedua pada tahun 1184 yang dipimpinnya sendiri dan berhasil menguasai wilayah Syantarin sebelah Barat Andalusia, sekaligus menghancurkan pertahanan tentara Kristen di daerah Lissabon (ibu kota Portugal saat ini), sekalipun Abu Ya’kup sendiri luka berat yang mengakibatkan kematiannya.
Abu  Ya’kup digantikan Abu Yusuf al-Manshur (1184 -1199). Al-Manshur mencatat kemenangan atas penduduk bani Hamad di Bajaya setelah ia meminta bantuan Bahaduun, panglima Shalahuddin al-Ayyubi 1184 M. Tahun 1195 Abu Ya’cub berhasil mematahkan Alfonso VIII setelah menguasai banteng Alarcos kemudian menguasai Toledo dan akhirnya kembali ke Sevilla (sebagai ibu kota baru).
Kemudian Al-Mansur digantikan Muhammad al-Nashir. Ia dikalahkan dalam pertempuran di Toulose, sejak itu kerajan Muwahidun melemah, orang Kristen yang pernah ditaklukan memberontak. Sebab itulah berakhirlah kekuasaan Muwahidun di Andalusia. 

No comments:

Post a Comment