Pada masa akhir
Murabithun, Abdullah ibn Tumart, seorang sufi Masjid Cardoba, melihat sepak
terjang kaum Murabithun, ia ingin memperbaikinya. Ia kemudian berangkat ke
Baghdad dan menambah ilmu kepada iman al-Ghazali. Setelah dirasa memadai ia
kembali, tinggal di Maroko. Disitu ia mulai mengkritik dan mencela perbuatan
raja-raja Murabithun yang bersalahan dengan syari’at Islam yang menurut fahamnya
tidak mengikuti sunnah Rasul.
Selain itu
dalam catatan sejarah, Ibnu Tumart pernah belajar di pusat-pusat studi Islam
kenamaan, seperti di Cardoba, Alexandria, Makah dan Bagdad. Dikota Bagdad, Ibnu
Tumart pernah belajar di Madrasah Nidlamiyah, sebuah perguruan tinggi
terkemuka di kota Bagdad. Dalam pengembaraan ilmiahnya banyak berdialog dengan
pemikiran-pemikiran yang aktual saat itu, diantaranya adalah soal tidak
diperlukan lagi bagi para penganut mazhab Maliki untuk belajar tafsir Al-Qur’an
dan Al-Hadist, karena keduanya telah dilakukan oleh Imam Malik. Kenyataan ini
membuat Ibnu Tumart merasa ditantang. Untuk mengimbangi pemikiran seperti itu,
ia menyerukan kepada umat Islam di Andalusia, agar menjadikan Al-Qur’an dan
Al-Hadits serta ijma’ sahabat sebagai dasar dari ajaran Islam. Selain itu ia
menolak ra’yu dan Qias sebagai dasar hukum Pemikiran keagamaan dan hukum yang
stagnan (mandek) serta pendidikan yang rendah pada masa pemerintahan dinasti
Murabithun, dijadikan sebagai motivasi dirinya untuk pergi ke Bahdad
mencari ilmu. Sekembalinya dari Bagdad ke Afrika Utara, Ibnu Tumart pada tahun
1100 M bertekad untuk melakukan pemurnian ajaran Islam. Karena menurutnya,
ajaran Islam di bawah Murabithun, mengalami penyimpangan. Gerakan ini didasari
atas keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, berdasarkan Tauhid. Karena itu,
gerakan ini kemudian dikenal dengan sebutan Muwahiddun.
Meskipun Ibnu
Tumart dianggap sebagai pencetus gerakan Muwahidun, namun ia sendiri tidak
pernah menjadi sultan.Yang lebih terkenal adalah Abd al-Mu’min yang awalnya
sebagai panglima. Ia akhirnya memimpin dinasti al-Muwahhidun selama 33
tahun (1130-1163) dengan membawa kemajuan pesat. Ibnu Tumart sebagai pencetus ,
mula-mula pergi ke Tanmaal di wilayah Sus untuk menyusun kekuatan. Yang pertama
dilakukan adalah memberantas paham golongan Murabbitun yang menyimpang,
menyerukan kemurnian tauhid menentang kekafiran, antrophomorpisme dan mengajak
umat menjalankan amar ma’ruf nahi munkar walau harus dengan kekerasan.
Murid-murid disuruh membuat benteng agar sukar bagi musuh hendak memasukinya.
Di Tanmaal inilah Ibnu Tumart merumuskan sistem militernya sebagai
organisasi pemerintahan .
Ensiklopedi
Islam III, penyebutan nama gerakan ini dengan nama Al-Muwahhidin, yang artinya
golongan yang berfaham tauhid, didasarkan atas prinsip dakwah Ibnu Tumart yang
memerangi faham al- tajsim, yang menganggap bahwa Tuhan mempunyai bentuk
(antropomorfisme). Ibnu Tumart sendiri mendakwahkan bahwa ayat-ayat yang
berkaitan dengan sifat Tuhan yang tersebut dalam kitab suci Al-Qur’an, seperti
“tangan Tuhan”, tidak dapat ditakwilkan (dijelaskan), tapi dia harus dipahami
apa adanya. Justru itu faham al-tajsim adalah benar-benar musyrik dan harus
diperangi. Ibnu Tumart menganggap bahwa menegakkan kebenaran dan memberantas
kemungkaran harus dilakukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, dalam
mendakwahkan prinsipnya, Ibnu Tumart tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
Seperti yang dilakukannya kepada saudara perempuan seorang gebernur di kota
Fez, dengan cara memukul gadis tersebut karena tidak memakai kerudung. Bahkan
tradisi yang sudah berurat berakar pun, seperti minuman khamar, musik dan
kesenangan terhadap pakaian yang mewah, ditentang habis-habisan oleh Ibnu
Tumart.
Sikap keras yang diperankan oleh Ibnu Tumart ini ditentang oleh sebagian besar masyarakat, terutama ulama dan penguasa. Untunglah dakwahnya kemudian diterima dan mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar seperti suku Haraqah, Hantamah, Jaduniwiyah, dan Janfisah. Setelah mendapat pengikut yang banyak dan kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka di sukunya, pada tahun 1121 M ia mengaku dirinya sebagai Al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan pemerintahan Islam yang didasari atas prinsip ketauhidan.
Sikap keras yang diperankan oleh Ibnu Tumart ini ditentang oleh sebagian besar masyarakat, terutama ulama dan penguasa. Untunglah dakwahnya kemudian diterima dan mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar seperti suku Haraqah, Hantamah, Jaduniwiyah, dan Janfisah. Setelah mendapat pengikut yang banyak dan kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka di sukunya, pada tahun 1121 M ia mengaku dirinya sebagai Al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan pemerintahan Islam yang didasari atas prinsip ketauhidan.
Untuk
mengujudkan semua keinginannya, Ibnu Tumart mengirim sejumlah pengikutnya ke
berbagai tempat untuk mengajak penduduk itu ke jalan yang benar sesuai dengan
ajaran Islam dan menyelamatkan diri dari ajaran kelompok Murabithun yang
dianggap telah menyekutukan Allah. Anjuran yang selalu diajarkan kepada
pengikutnya adalah untuk berakhlak mulia, taat undang-undang, shalat tepat pada
waktunya, membawa wirid yang dibuat Al-Mahdi dan buku-buku akidah Muwahidun.
Sejak ia
mengaku dirinya sebagai Al-Mahdi, pengikutnya terus bertambah dan
berhasil menghimpun sejumlah orang Barbar yang ketuanya adalah sahabat atau
murid Ibnu Tumart. Dari sinilah kemudian Ibnu Tumart menyusun konsep dan
memberikan definisi yang jelas bagi kelompoknya.
Dari beberapa
uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya dakwah Ibnu Tumart
adalah murni didasari oleh keagamaan, artinya tidak didasari oleh
kepentingan-kepentingan lain melainkan semata-mata menegakkan tauhid secara
murni. Namun seiring dengan waktu dan jumlah pengikutnya semakin bertambah
karena didasari dengan dakwahnya dapat diterima oleh orang banyak, disisi lain
Dinasti Murabitun semakin lemah, akhirnya Ibnu Tumart berambisi untuk
menjatuhkan dan merebut kekuasaan Dinasti Murabithun. Selanjutnya dibentuklah
kota sebagai pusat pemerintahan, yaitu suatu daerah di bagian Selatan Maroko,
dan dari sini pulalah dilancarkan seruan perang suci untuk menaklukan
daerah-daerah sekitarnya. Sarana utama yang digunakan dalam koordinir
kegiatan jama’ah, Ibnu Tumart membangun sebuah Mesjid yang megah di Ibu kota
Dinasti al-Muwahhidin.
Adapun stuktur
Negara dalam pemerintahan Al-Muwahidun yang di bentuk Ibnu Tumart terdiri dari
beberapa unsur sebagai berikut :
1.
Al-Asyrah (dewan Sepuluh) semacam Dewan Menteri disebut juga dengan
nama Ahl al-Jama’ ah.
2.
Al-Khamsin (Dewan Lima Puluh) semacam senat.
3.
Al-sabi’in (Dewan Tujuh Puluh) semacam Dewan Perwakilan Rakyat.
4.
Al-Talabah, Dewan Ahli yang terdiri dari Ulama-ulama Yunior.
5.
Ahl-Dar (keluarga Istana).
6.
Kabilah Haragah yaitu Kabilah Ibnu Tumart sendiri.
7.
Ahl Tainmul (Pasukan Inti) mewakili beberapa kabilah.
8.
Kabilah Jadmiwah.
9.
Kabilah Janfisah.
10. Kabilah Hantamah.
11. Kabila-kabilah Al-Muwahhidun.
12. Para Prajurit.
13. Al-Girrat, yaitu rakyat biasa .
Dari ketiga
belas stuktur diatas, masing-masing kelompok telah mempunyai tugas dan
tanggungjawabnya, namun kedudukan yang paling tinggi adalah urutan
pertama (al-‘Asyrah) yang sekaligus berwenang untuk memilih, mengangkat
dan membai’at imam atau kepala pemerintahan. Dan semua struktur yang ada
sama-sama mempunyai kewajiban dan tugas yang sama dalam mensukseskan dakwah
Al-Muwahhidin.
Kontak pertama dengan Murabithun terjadi ketika Gubernur Sus dengan pasukannya menyerang suku Hurglah yang membangkang terhadap pemerintahan Murabithun. Tetapi pasukan itu dapat dikalahkan oleh kelompok Muwahhidun. Kemenangan pertama ini membangkitkan semangat kelompok Muwahhidun untuk melakukan serangan ke Maroko. Dengan kekuatan besar, kelompok Muwahiddun berusaha menaklukan Maroko pada tahun 1125 M, tetapi gagal.
Kontak pertama dengan Murabithun terjadi ketika Gubernur Sus dengan pasukannya menyerang suku Hurglah yang membangkang terhadap pemerintahan Murabithun. Tetapi pasukan itu dapat dikalahkan oleh kelompok Muwahhidun. Kemenangan pertama ini membangkitkan semangat kelompok Muwahhidun untuk melakukan serangan ke Maroko. Dengan kekuatan besar, kelompok Muwahiddun berusaha menaklukan Maroko pada tahun 1125 M, tetapi gagal.
Setelah
mempunyai pengikut yang besar, maka pada tahun 1129 dengan jumlah pasukan
40.000 orang dibawah komando Abu Muhammad Al-Basyir Al-Wansyarisi, mereka
menyerang kota Marrakech, sebagai salah satu kota penting dalam dinasti
Al-Murabithun, yang terkenal dalam sejarah dengan nama “Perang Buhairah”. Dalam
peperangan ini pihak Al-Muwahhidun menderita kekakalahan, banyak diantara prajuritnya
yang gugur serta beberapa anggota al-Asrah termasuk komandannya sendiri
Al-Wansyarisi, dan empat bulan kemudian Ibnu Tumart sendiri juga wafat.
Sesudah Ibnu
Tumart meninggal dunia, Abdul Mukmin bin Ali, dibai’at sebagai penggantinya.
Setelah mendapat pengakuan dan dinobatkan oleh Dewan 10 orang. Ia diberi gelar
bukan Al-mahdi, melainkan Khalifah. Pada masa kepemimpinannya inilah
Al-Muwahhidin banyak meraih kemenangan dalam beberapa peperangan.
Setelah
dinyatakan sebagai khalifah, langkah pertama dilakukannya adalah menundukkan
kabilah-kabilah di Afrika Utara dan mengakhiri kekuasaan Murabithun di Afrika
Utara. Sejak tahun 1144-1146 M, ia berhasil menguasai kota-kota yang pernah
dikuasai Murabithun, seperti Tlemcen, Fez, Tangier dan Aghmat. Setelah itu
Andalusia dikuasainya pada tahun 1145 M. Kemudian pada tahun 1147 M seluruh
wilayah Murabithun dikuasai Muwahhidun.
Sejak Marrakech
dikuasai, pada tahun 1146 Abdul Mukmin bin Ali memindahkan ibu kota
pemerintahan dari Tinmal ke kota tersebut dan dari sana ia menyusun ekspansinya
ke berbagai daerah, sehingga ia bisa menguasai Al-Jazair (1152), Tunisia
(1158), Tripoli–Libya (1160).
Dalam masa
pemerintahan Abdul Mukmin bin Ali inilah, wilayah kekuasaan Al-Muwahidun
membentang dari Tripoli hingga ke Samudra Atlantik sebelah barat, merupakan
suatu prestasi gemilang yang belum pernah dicapai Dinasti atau Kerajaan manapun
di Afrika Utara.
Pada tahun 1162
Abdul Mukmin bin Ali meninggal dunia, beliau digantikan puteranya sendiri yang
bernama Abu Ya’kub Yusuf bin Abdul Mukmin, yang sama seperti ayahnya ingin memperluas
wilayah kekuasaannya, baik ke Utara maupun ke Timur.
Dalam masa
kepemimpinannya paling tidak ada dua kali penyerangan yang dilakukannya ke
Andalusia. Pertama pada tahun 1169 di bawah pimpinan saudaranya Abu Hafs,
mereka berhasil merebut Toledo, kedua pada tahun 1184 yang dipimpinnya sendiri
dan berhasil menguasai wilayah Syantarin sebelah Barat Andalusia, sekaligus
menghancurkan pertahanan tentara Kristen di daerah Lissabon (ibu kota Portugal
saat ini), sekalipun Abu Ya’kup sendiri luka berat yang mengakibatkan
kematiannya.
Abu
Ya’kup digantikan Abu Yusuf al-Manshur (1184 -1199). Al-Manshur mencatat
kemenangan atas penduduk bani Hamad di Bajaya setelah ia meminta bantuan
Bahaduun, panglima Shalahuddin al-Ayyubi 1184 M. Tahun 1195 Abu Ya’cub berhasil
mematahkan Alfonso VIII setelah menguasai banteng Alarcos kemudian menguasai
Toledo dan akhirnya kembali ke Sevilla (sebagai ibu kota baru).
Kemudian
Al-Mansur digantikan Muhammad al-Nashir. Ia dikalahkan dalam pertempuran di
Toulose, sejak itu kerajan Muwahidun melemah, orang Kristen yang pernah
ditaklukan memberontak. Sebab itulah berakhirlah kekuasaan Muwahidun di
Andalusia.
No comments:
Post a Comment