Fatimiyah
merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi
yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai ke
Fatimah putri Rasulullah dan isteri khalifah keempat yaitu Ali bin Abi Thalib. Oleh
karena itu dinasti ini dinamakan dengan Dinasti Fatimiyah. Namun kalangan sunni
menyebutnya Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah
dengan doktrin-doktrinnya yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial.
Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al-Mahdy.
Ubaidilah
dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan gubernur-gubernur
Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai bawahannya. Saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar
Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya
serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo
(al-Qohirah “yang berjaya“) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli.
Dalam
bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan ibukotanya dari
al-Mahdi ke Kairo. Selain itu juga memberi gelar kepada khalifah-khalifah
Fatimiyah sebagai khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya
keluar Mesir yang mereka tersebut adalah lulusan dari Universitas al-Azhar.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan
Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang dipimpin oleh Darazi.
Dinasti Fatimiyah adalah dinasti
syi’ah yang dipimpin oleh 14 khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun
909-1171 M atau selama kurang lebih 262 tahun. Para khalifah tersebut adalah:
1.
Ubaidilah al-Mahdi
(909-924 M)
2.
Al-Qa’im (924-946 M)
3.
Al-Manshur (946-953 M)
4.
Al-Mu’izz (953-975 M)
5.
Al-Aziz (975-996 M)
6.
Al-Hakim (996-1021 M)
7.
Azh-Zahir (1021-1036
M)
8.
Al-Musthansir
(1036-1094 M)
9.
Al-Musta’li (1094-1101
M)
10.
Al-Amir (1101-1131 M)
11.
Al-Hafizh (1131-1149
M)
12.
Azh-Zhafir (1149-1154
M)
13.
Al-Faiz (1154-1160 M)
14.
Al-‘Adhid (1160-1171
M)
Sejak tahun 1131 M, merupakan masa
peralihan pemerintahan dari “khalifah” ke “wali”. Hal ini terjadi ketika
Dinasti Fatimiyah diperintah oleh al-Hafizh (sebagai wali bukan sebagai
khalifah).
Pada tahun 1094 M setelah
al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan ma’iliyah yaitu kelompok
Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang paling moderat. Dia mempertahankan
kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah.
Berdirinya dinasti ini bermula
menjelang abad ke-X ketika kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad mulai melemah
dan wilayah kekuasaanya yang luas tidak terkoordinir lagi.Kondisi seperti
inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya dinasti-dinasti kecil di
daerah-daerah, terutama di daerah gubernur dan sultannya memiliki tentara
sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari
kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan
bagi kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan
politik.
Dinasti Fatimiyah bukan hanya
sebuah wilayah gubernuran yang independen, melainkan juga merupakan sebuah
rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal. Mereka mendeklarasikan
adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturuna Ali yang mengharuskan
sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau mengenai siklus
estakologis sejarah.
Dinasti Fatimiyah berkuasa mulai
(909-1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya. Dinasti ini mengaku keturunan
Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro. Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa
Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M) bukannya Musa saudaranya Ismail yang
berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah mereka (imam Ja’far).
Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan politik keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini
berhasil merealisir pertama kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif.
Sedangkan kebanyakan kaum sunni yang mengatakan bahwa dinasti Fatimiyah
keturunan dari Ubaidillah al-Mahdi disebut Dinasti Ubaydiun (khalifah I dinasti
Fatimiyah) dan berasal dari Yahudi.
Gerakan syi’ah Fatimiyah ini
membuktikan pada dunia bahwa potensi doktrin mesianik dan sentralistik.
Walaupun syi’ah menganggap Ismail sebagai imam mereka, tetapi Ismail tidak
berperan secara independen karena ia mati muda, bahkan sebelum ayahnya (Imam
Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili dengan
dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini
berangkat dari Umul Fadhl yang pernah menyusui Husein anak Fatimah dan Ali,
ketika ia melahirkan Dotham. Sehingga menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah
Fatimiyah merupakan saudara sesusuan.
Keberhasilan menancapkan doktrin
Ismaili, dlam perkembangannya mampu membari perlindungan imam-imam mereka di
Salamiyah, Siria dan telah memudahakan pengorganisasian dakwah Fatimiyah.
Meskipun dkawah Fatimiyah ini dimulai sejak dini, namun baru pada masa Abu
Ubaidillah Husein yaitu generasi keempat setelah Ismaili, baru mulai berkembang
pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah berhaknya
anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan
sistem jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehinnga sangat efektif dan
terorganisir secara rapi.
Ubaidillah yang memimpin dakwahnya
dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’ah telah
berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya dengan memenangkan dukungan luas
dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh khalifah Abbasiyah. Lewat da’i
seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab al-Kufy, Yaman temasuk
ibukotanya dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman, ia dpat menyebarkan para
da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, belahan timur antara Arabia dan
India seta Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah asy-Syi’i yang mengemukakan
konsep akan datangnya Imam Mahdi dari keturunan Nabi. Para da’i tersebut akhirnya
berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai pendukung kepemimpinan Ubaidillah
al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki
Roaqadah yaitu pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Akhirnya al-Mahdi yang
baru menggantikan ayahnya, datang ke Tunis untuk dinobatkan sebagai khalifah (909
M).
Karena tidak menguasai daerah
kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan pada da’i seperti asy-Syi’i. Namun
karena yang disebut belakangan rupanya banyak membarikan harapan dan konsesi
terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang memenuhi program al-Mahdi yang
luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang dicurigai termasuk
asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas kekuasaannya yang
bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia mengadakan ekspedisi
wilayah laut tengah, seperti Genoa, Sisilia, dan Mesir.
Keberhasilan pemerintahan
Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat pemerintahan ke Kairo. Hampir
seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai Fatimi, terutama
setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqillli (969 M)
dan menaklukkan dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai
membangun ibukota baru di Mesir yaitu al-Qohirah (970 M) serta masjid al-Azhar
sebagai pusat pendidikan para da’i dan khalifah al-Muizz pindah ke ibukota baru
tahun (973 M). Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam berbagai
aspek kehidupan, karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu
membangkitkan berbagai macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan),
perdagangan, keagamaan, walaupun peralihan kekuasaan ke wilayah timur
perlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka di bagian barat. Terbukti bahwa
wakil mereka di Tunis yaitu Bani Ziri (1041 M) menyatakan tidak terikat dengan
pemerintahan Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir
(1036-1094 M) dinasti Fatimiyah mencapai puncak kekuasaannya setelah terlibat
konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah. Para khalifah Fatimiyah umumnya
membina hubungan damai dengan Byzantium kemudian bersatu karena ancaman-ancaman
petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan Anatholia pada abad 11. Tetapi pada
akhir abad 11 terjadi perang Salib I yang mengancam penguasa-penguasa Turki
Suriah. Para khalifah Fatimiyah pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan
Dinasti Zangiyyah, Nuruddin dari Aleppo dan Damaskus untuk melawan tentara
Salib. Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, dinasti Fatimiyah mulai
terpecah-belah. Para khalifah kehilangan kekuasaan dan para wazirnya (gubernur)
memegang kepemimpinan eksekutif dan militer. Dari sini dinasti Fatimiyah
diakhiri oleh serangan Sahadin (Shalahudin) keponakan yang cakap sebagai
pengganti Syirkuh yang menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin
yaitu putra Zangi dari dinasti Ayyubiyah.
Sekitar tahun 1171 M, dinasti
Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai kemajuan peradaban dan
peningkatan ekonomi. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti
Fatimiyah adalah:
a.
Para petugas yang
selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
b.
Adanya pemaksaan
ideologi syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas sunni.
c.
Terjadinya persaingan
perebutan wazir.
d.
Kondisi al-Adhid
(dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur al-Din. Dalam kondisi khalifah
yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan diantara pejabat dan
militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur
al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din al-Ayyubi. Mula-mula ia
berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah
al-Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib tetapi
untuk menguasai Mesir. Dengan dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya
Mesir, maka berakhirlah riwayat dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M
yang telah bertahan selama 262 tahun.
No comments:
Post a Comment