Popular Posts

Sunday, February 23, 2014

kontroversi hati tentang hukum dan syariah

Syari’at yang merupakan acuan bertindak umat isalam dalam menjalani kehidupannya merupakan hal yang “fleksibel”. Kata fleksibel disini mengacu pada esensi agama islam yang “tidak memberatkan pengukutnya” dan “dapat mengikuti adat istiadat” dimana si penganut agama itu bertempat tinggal. Ke “fleksibel”-an di sini dapat dilihat dalam hukum “ketika madhorot maka semua hukum halal akan menjadi halal” misallkan, dalam hutan belantara yang tidak ada makanan sama asekali, maka jika hanya ada seekor babi yang dapat ditangkap sebakai makanan, maka umat islam yang terdesak itu boleh memakannya. Beberapa syariat juga dapat berlaku berbeda pada setiap daerah jika syariat itu mempunyai akar atau ushul kemanusiaan, misalkan “makanan yang menjijikkan haram hukumnya” jika mayoritas masyarakat daerah A berpendapat bahwa bekicot menjijikkan, maka haram bagi masyarakat tersebut mengonsumsi bekicot, dan sebaliknya.
Syari’at dalam islam tidak hanya mengatur hubungan umatnya dengan Tuhannya, akan tetapi juga mengatur bagaimana seharusnya umatnya berskap dan berinteraksi dengan sesamanya dan alam sekitarnya. Syariat yang merupakan hukum-hukum yang harus dipatuhi dalam menjalankan kehidupan merupakan tingkat terdasar dalam agama islam. Adapun tingakat kedua adalah moral yang di sini juga termasuk “cinta”, “kasih”, “sayang” dan “kesetiaan”. Allah, tuhan umat bergama Islam memilki sekian sifat yang terkumpul dalam Asma’ul Husnah, akan tetapi dari sifat-sifat itu menurut sekian pengalaman, sifat kasih dan sayang-Nya lebih dominan dari pada sifat sombongnya dan sifat murkanya, sifat pengampun-Nya lebih besar dari pada sifat kuat-Nya. Allah juga sudah berfirman bahwa tidak ada dosa yang tidak diampuni kecuali “Menduakannya”. Contoh, seorang pelacur yang selalu berzina masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat.
Uapaya merupakan usaha manusia sekuat-kuatnya dalam melakukan sesuatu. Adapun upaya tidak dapat dinilai oleh diri sendiri seperti halnya kinerja. Jika saya ditanya apakah kamu adalah orang ter rajin, saya akan menjawab “iya” atau “tidak tahu”, karena pada dasarnya sifat bawaan manusia adalah “egois”. Akan tetapi pada kesempatan ini, sedikit akan dipaparkan mengenai pergaulan, cara busana dan ibadah. Ibadah merupakan amalan yang saklak karena hubungannya dengan Allah, dimana Tuhan tidak terikat oleh adat istiadat dan zaman. Ibadah dalam konteks ini tidak dapat dibantah dah harus diikuti sesuai dengan syariat. Adapun cara bergaul dan cara berpakaian merupakan amalan yang erat hubungannya dengan manusia, dimana manusia itu terikat dengan adat-istiadat dan zaman. Cara bergaul merupakan bentuk interaksi antar manusia. Cara bergaul bergantung pada bagaimana cara pandang dan egoisitas orang yang bersangkutan dan orang yang dihadapi. Ada kalanya, manusia dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam menghadapi variasi orang-orang yang dihadapinya, ada pula yang sebaliknya. Penanda pada keberhasilan cara bergaul adalah seberapa nyaman perasaan orang-orang yang berada di sekitar kita. Untuk mencapai keberhasilan tersebut terdapat beberapa cara yang salah satunya sudah diajarkan oeleh agama Islam yakni berawal dari Ta’aruf yang kemudian berlannjut pada Tafahum, Ta’awun dll. Cara berpakaian pun erat hubungannya dengan adat dimana orang tersebut lahir dan atau tinggal, karena pada dasarnya penutupan aurat bagi laki-laki terutama pada perempuan bertujuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harha diri dan melindungi dari pelecehan seksual. Jika kita mengacu pada daerah Arab dan sekitarnya yang notabene penduduknya (laki-laki) memiliki nafsu yang sangat besar, maka agar si perempuan terjaga, maka perempuan tersebut diwajibkan untuk menutup semua leku-lekuk tubuhnya. Jika kita melihat daerah pedalaman yang sangat primitif dimana lelakinya tidak bernafsu bada perempuan yang tidak berpakaian sekalipun, maka bisa saja hukum menutup aurat tersebut tidak berlaku.

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah macam dari syariat atau hukum dalam agama Islam. Terdapat dua macam hukum, yakni hukum yang tidak dapat berubah karena keterkaitannya yang langsung dengan Sang Pencipta dan hukum yang dapat berubah dimana hukum ini adalah hukum yang muncul atas dasar kepentingan manusia. Wallahu A’lam Bisshowab.

No comments:

Post a Comment